Taman Sari: Pemandian Eksklusif Para Putri Raja

 Taman Sari oleh Jogjaasik.com

Tempat ini sebenernya udah agak lama aku kunjungi, sekitar bulan Juni tahun 2016, tepatnya habis lebaran. Sodara-sodara jauh pada pulang ke Solo dan mereka pada pengen jalan-jalan di Jogja. Sayangnya, nggak ada kendaraan yang nganggur di rumah eyang, cuma ada motor dua biji, sedangkan kita waktu itu mau pergi bertujuh. Jadilah kita naik kendaraan umum ke Jogja.

Pastinya udah banyak orang yang tau gimana caranya dari Solo ke Jogja naik kendaraan umum. Ada dua opsi, yaitu naik bus Solo-Jogja atau naik kereta prameks. Kalau yang niatnya ke Jogja mau jalan-jalan, disarankan banget naik prameks. Bisa dari Stasiun Purwosari atau Solo Balapan, tapi lebih disarankan dari Solo Balapan soalnya peluang dapet tempat duduknya lebih besar (fyi buat yang belum tau, kereta prameks nggak pakai nomor tempat duduk).

Tiket prameks cuma 8.000 rupiah, dan berhenti di Stasiun Klaten, Stasiun Maguwo (Bandara Adi Sucipto), terus yang terakhir berhenti di Stasiun Tugu. Karena waktu itu tujuan kita adalah Taman Sari, jadi kita turun di Stasiun Tugu, karena Stasiun Tugu itu bersebelahan langsung sama Jalan Malioboro.

Waktu itu, nggak ada satu pun dari kita yang pernah ke Taman Sari. Semuanya ngikut apa kata kakakku aja karena, nggak tau juga sih, dia sering ngomong aja. Kakakku sendiri udah searching lokasinya di google maps sejak di kereta, dan kata dia Taman Sari nggak jauh dari Titik Nol Kilometer.

Padahal ternyata jauh banget.

Kita turun di Stasiun Tugu dan langsung ke Jalan Malioboro. Jalan terus sampai ujung Malioboro, dan serius, itu capek banget. Di ujung Malioboro, kita akan ketemu lampu merah yang cukup besar dan itu adalah Titik Nol Kilometer. Dari situ tetep lurus aja, nyebrang jalan, hati-hati. Kita jalan aja terus ngikutin trotoar sampai ke Alun-Alun (serius aku nggak tau itu Alun-Alun Kidul apa Alun-Alun Lor). Kalau udah lihat Alun-Alun, jangan nyebrang, terus jalan ikutin trotoar. Nanti kita bakal ketemu Masjid Agung, jalan lurus terus, tapi kalau udah adzan mampir dulu ya. Hehe. Sampai di persimpangan jalan, kita jalan lurus dengan nyebrang di jalan kecil. Jalan aja lurus terus sampai ketemu plang ijo yang nunjukin arah Taman Sari.

Nanti, kita akan sampai di pintu masuk Taman Sari yang dipenuhi abang-abang becak yang duduk di atas kendaraannya. Yang pertama kamu lakukan kalau kamu baru pertama kali ke sini adalah cari loket tiket. Soalnya waktu aku ke sana kemarin aku asal ngikutin jalan aja waktu lihat situs yang pertama.

Area Taman Sari ini udah menyatu sama rumah warga, jadi agak bingung juga jelasin rutenya. Kalau kamu pengen bener-bener paham, mungkin kamu bisa sewa guide. Waktu itu, aku langsung sampai di (apa nyebutnya ya aku nggak tau hehehe) tapi itu semacam lorong bawah tanah. Di beberapa bagian lorong itu ada ruangan-ruangan, tapi aku kurang tau juga buat apa, mau lihat lebih dalam tapi takut.

Lorong bawah tanah

Nah, keluar dari lorong bawah tanah ini, kita akan menemukan rumah warga lagi. Dan ada yang jual dawet enak banget! Serius, kamu harus coba. Jadi itu dawet susu, dan susunya pakai susu UHT, jadi gurih banget. Aku nggak bohong, dawetnya nagih banget. Cendol, susu UHT, sama cairan gula merah, semuanya ngeblend jadi satu dan itu bener-bener seger dan gurih. Kemarin harganya 10.000 buat satu cupnya, tapi worth it karena cupnya nggak kecil banget. Serius, harus coba.

Sayangnya, jalan keluar yang tembus ke rumah warga yang jualan dawet itu ternyata tembus ke tempat kita masuk tadi. Jadi, kita muter masuk ke lorong bawah tanahnya lagi dan nyoba lurus.

Setelah jalan nggak begitu jauh, kita nemu tembok yang dihiasi mural lucu-lucu. Ini emang jadi salah satu spot foto di Taman Sari.

Kalau nggak salah, rumah warga yang di area ini emang dijadiin kampung seni gitu.

Nah, di depan tembok mural ini ada pintu masuk buat ke Masjid Bawah Tanah. Di pintu masuk itu ada bapak-bapak petugas yang nanyain tiket, karena kalau mau masuk ke situ harus nunjukin tiket. Sialnya, kita bener-bener nggak tau kalau ada loket yang jualan tiket. Hehe. Jadi aku sama adek sepupuku coba balik lagi dan nanya-nanya sama warga di situ di mana tempat beli tiket, dan semuanya tau.

Akhirnya, kita sampai di loket tiket dan akhirnya kita tau di mana pintu masuk Taman Sari yang sebenarnya. Di situ kita nggak antri terlalu panjang, mungkin karena udah nggak cuti bersama. Harga tiket turis lokal 5.000 rupiah, buat turis asing 12.000 rupiah. Kalau kamu mau pakai guide, tarifnya 40.000-50.000 rupiah, kamu bisa nego sama guidenya langsung. Dan kalau kamu bawa kamera (selain kamera handphone ya), kamu harus masuk pakai tiket kamera seharga 2.000 rupiah.

Nah, setelah beli tiket, kita nggak langsung balik ke tempat sodara-sodara kita yang lain pada nungguin, karena kita diarahin masuk lewat pintu utamanya. Di situ kita baru lihat ikon-ikonnya Taman Sari, contohnya kolam ini



Tapi, karena ditelfon sodara-sodara yang pada nungguin, kita langsung balik ke tempat tadi sebelum foto-foto lebih banyak, karena di Taman Sari ini nggak ada rute yang searah. Jadi, kita balik bolak-balik ke tempat-tempat yang kita mau.

Agak susah nyari pintu masuk ke Masjid Bawah Tanah dari rute yang beda, tapi warga di Taman Sari kebanyakan informatif, jadi kamu bisa langsung nanya ke mereka dan mereka kebanyakan tau.

Setelah nemu sodara-sodara yang lain, kita nunjukin tiket ke bapak-bapak yang masih sama dan masuk ke Masjid Bawah Tanah. Ini tempat yang harus banget dikunjungi kalau kamu pengikut trend di instagram.

Bangunan Masjid Bawah Tanah ini lingkarang dan membentuk lorong, dengan ruang terbuka di bagian tengahnya, yang ada tangga buat ke lantai dua. Nggak tau ini perasaanku doang atau emang beneran, tapi bentuk bangunannya kayak bangunan tempat Hercules melawan Medusa, kalau kamu pernah main games Hercules. Ada sumur di lantai atas bangunan ini, nggak ada palang yang melarang pengunjung buat masuk ke sumur tapi emang nggak ada yang masuk ke sana hehe. Aku penasaran tapi takut, jadi lihat dari agak jauh doang.

Turis yang ke sini pengertian kok, mereka akan dengan senang hati gantian kalau lihat ada orang yang ngantri buat foto juga, dan akan minggir dari jangkauan kamera kita, kecuali mas-mas di belakang.

Berdoalah semoga cuaca mendung tapi jangan hujan. Karena kalau cerah akan panas banget, tapi kalau hujan kamu nggak bisa ke mana-mana, karena sebagian besar area Taman Sari adalah area outdoor.

Nah, kemarin waktu aku ke sini sempet kehujanan, dan berteduh di bangunan-bangunan di sekitar kolam. Kebetulan banget ada rombongan keluarga yang nyewa guide di belakangku, dan sambil nungguin hujan reda, guidenya jelasin banyak hal ke kliennya. Di antaranya adalah bahwa kolam yang jadi ikon Taman Sari dulunya dipakai untuk mandi para putri raja bersama dayang-dayangnya. Ada dua kolam  di sana, yang satu lebih besar dan satunya lebih kecil. Nah kata guidenya kolam yang lebih besar itu dipakai untuk mandi putri raja, dan kolam yang lebih kecil untuk dayang-dayangnya. Aku dengerin aja karena juga kurang tau sejarahnya. Inti dari penjelasan guidenya adalah Taman Sari ini dulunya merupakan tempat peristirahatan raja (di Masjid Bawah Tanahnya) dan pemandian bagi putri-putri raja saja. Jadi semacam resort pribadi buat keluarga kerajaan gitu, hehe.

Kita keluar dari Taman Sari jam 16.00 dan sholat dulu di masjid di dekat gerbang masuknya. Sambil solat, kita menimbang-nimbang mau jalan lagi atau naik taksi buat ke Titik Nol Kilometer. Sayangnya, jarang banget taksi kosong yang lewat. Waktu nyari taksi, justru banyak abang becak yang nawarin jasa mereka. Akhirnya, kita naik becak ke Titik Nol Kilometer. Dua becak untuk dua orang, satu becak motor dan satu becak konvensional. Satu becak tarifnya 25.000 rupiah.

Nah, di Titik Nol Kilometer sampai Malioboro, kita bisa menikmati suasana dulu karena udah sore, Malioboro udah mulai ramai dan nggak panas. Ada gembok cinta-gembok cintaan di sana. Mungkin kamu mau nambahin gembok di sana.

Gembok cinta ala-ala

Ada juga semacam cosplay di Malioboro. Kalau ini mungkin udah banyak yang tau. Tapi biasanya coplaynya beda-beda. Kalau malem Jumat biasanya ada pocong dan teman-temannya. Waktu itu ada Transformer, aku nggak tau namanya siapa, hehe.


Jalan dari Titik Nol ke Stasiun Tugu cukup makan waktu karena kita jalannya emang lemot. Jam-jam segini, kalau kalian benar-benar nggak naik kendaraan pribadi, lebih baik cari tiket kereta dulu. Biasanya tiket Pramek udah habis. Waktu itu juga. Jadi kita beli tiket kereta api jurusan Jawa Timur seharga 40.000, lima kali harga tiker Pramek.

Sambil nungguin kereta, kita makan di Kopi Jos dulu. Mungkin kamu pernah denger namanya. Kalau kamu suka kopi dan suka mengeksplor makanan pinggir jalan, kamu bisa mampir di angkringan ini. Menu makanannya sama kayak angkringan pada umumnya, kelihatan lebih banyak aja. Kopinya, sama aja kayak kopi lain, kecuali kamu pesan menu Kopi Jos. Ada pilihan panas dan es, terserah kamu. Dua-duanya enak, tapi aku lebih suka yang es karena bubuk kopinya nggak terlalu kerasa. Dua-duanya disajikan dengan arang seukurang es batu besar. Jadi, kalau kalian nemu es batu warna hitam di gelasnya, jangan diemutin atau digigitin. Itu arang. Pait.

Angkringan Kopi Jos

See, jalan-jalan ke tempat untuk pertama kalinya bukan hal yang serem juga, selama ada google maps, atau plang ijo bagi kalian yang nggak suka pakai google maps. Banyak-banyak nanya ke orang sekitar kadang juga bisa meninggalkan kesan positif, kalau kamu ketemu orang-orang yang ramah. Kalau orang-orangnya kurang ramah, berdoa aja, semoga ada koneksi internet di situ, jadi kamu masih bisa nanya google kalau nggak bisa nanya ke orang.








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Yang Pernah Kamu Semogakan sampai Kamu Sendiri Lupa Apa II : Selangkah Lagi Jadi Awardee LPDP

Kilas Balik 2017

Semeja Bar and Kitchen: Steak Pasar Salatiga