My Life in A Week
Tepat seminggu setelah perkuliahan terakhirku di semester ini. Tepat seminggu juga aku pergi ke kampus setiap hari tanpa menyambangi ruang kuliah dan kembali ke kost hanya untuk tidur-tiduran sambil melakukan hal tidak produktif lainnya. Kelihatannya menyenangkan mengingat biasanya tugas kuliahku tidak pernah ada habisnya. Tapi kenyataannya jauh dari kata menyenangkan.
Belakangan aku merasa agak useless apabila aku hanya bermalas-malasan tanpa melakukan sesuatu yang berguna. Dan perasaan itu kemudian aku merasa sedikit depressed dengan keadaanku. Aku sendiri bingung kenapa, dan sampai sekarang aku masih belum menemukan solusi yang cocok untuk masalahku ini.
Persyaratan magang hanya kurang satu dokumen lagi dan itu sudah selesai dalam dua hari. Selain itu, aku juga harus menyelesaikan dokumen-dokumen yang tidak bisa dibuat dalam waktu cepat terkait dengan keberangkatan tim otomotif yang aku ikuti ke luar negeri. Ya, kami akan berkompetisi di Singapura awal Maret besok, dan karena sumber dana kami dari universitas jadi kami harus benar-benar mengurus semua dokumen yang sebagian besar tidak bisa diselesaikan dalam satu atau dua minggu saja--karena aku baru selesai magang pada akhir Februari.
Apakah aku sibuk? Tidak.
Aku benar-benar berusaha untuk mencari kesibukan, sebanyak-banyaknya. Ada hal besar yang ingin benar-benar aku lupakan, dan berdasarkan banyak hal yang telah aku alami, satu-satunya cara supaya aku bisa melupakan hal yang pertama kali aku lihat saat bangun dan terakhir kali aku lihat saat akan tidur adalah dengan menyibukkan diriku, sesibuk apa pun yang aku bisa. Aku pernah melakukannya saat semester satu dulu, saat aku benar-benar diabaikan oleh orang terdekatku waktu itu, aku benar-benar mencari kesibukan dengan mendaftar ke banyak UKM dan mengambil pekerjaan-pekerjaan yang berat dan memakan waktu lama, sehingga akhirnya aku terlalu sibuk dengan apa yang aku kerjakan dan bisa benar-benar melupakan kesedihanku karena terabaikan orang itu.
Sayangnya, seminggu ini aku hanya menghabiskan waktu paling lama tujuh jam di kampus per harinya. Itu pun tidak padat. Ada sebagian waktu yang aku gunakan tanpa melakukan apa-apa ketika menunggu orang-orang untuk menandatangani dokumen-dokumen yang aku urus. Dan di saat-saat itulah semua hal yang berusaha keras aku lupakan berdatangan lagi. Aku tidak bisa menyibukkan diri dengan ponselku karena tidak ada apa-apa di sana. Yang aku lakukan hanya membaca cerita-cerita berat pada novel sastra karangan penulis-penulis terkenal yang bahasanya agak sulit aku cerna, yang sengaja aku beli hanya untuk menghindari diriku menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa, karena aku tahu membaca buku seperti itu bagiku akan melibatkan pikiranku dan membutuhkan waktu yang lama. Sayangnya, aku tidak bisa membaca buku seperti itu di keramaian. Jadi percuma saja. Pikiranku tetap berterbangan ke hal-hal yang ingin aku hilangkan dari ingatanku.
Aku akan merasa lebih menyedihkan saat jam kerja kampus telah selesai dan aku tidak punya tujuan lain selain kembali ke kost dan tidak tahu harus melakukan apa. Buku-buku sastra tadi juga tidak bisa aku baca saat aku lelah. Jadi aku benar-benar harus meladeni pikiran-pikiran menyebalkan yang langsung menyerbuku begitu aku memasuki kamarku. Aku kesal sekali, dan sedih. Sedih sekali.
Sebagian besar temanku sudah pulang ke kota asal mereka masing-masing, hanya menyisakan mereka yang memang tinggal di Solo, tapi tidak memiliki niat sedikit pun untuk datang ke kampus. Hanya rekan magangku saja yang masih mau ke kampus, dan aku benar-benar memanfaatkannya untuk menghabiskan waktuku dengan hal-hal yang bisa mengalihkan pikiranku dari hal yang kuhindari tadi.
Aku sering memaksanya menemaniku makan, print dokumen, sekedar membeli minuman ringan di Indomaret, dan hal-hal tak penting lainnya, yang penting ada hal aktif yang aku lakukan. Dia juga mau-mau saja menemaniku karena selain dia juga tidak punya kerjaan, dia mengerti bahwa aku harus segera melupakan sesuatu dengan melakukan pekerjaan lain. Jadi dia cukup membantuku untuk itu.
Sayangnya, hari Rabu kemarin adalah hari terakhir ia ke kampus. Setelah itu, ia disibukkan dengan kegiatannya sendiri. Terakhir kami bertemu sebelum aku melanjutkan mencari tanda tangan pada dokumenku, dan berjanji untuk menonton sebuah film di bioskop di The Park, Solo Baru. Kami membuat janji karena nantinya kami akan berangkat sendiri-sendiri untuk mempersingkat waktu karena dia juga ada agenda sebelum itu.
Siang menjelang sore itu, ia memberitahuku via chat bahwa dia sudah bersiap berangkat ke The Park. Aku agak ragu untuk berangkat sebenarnya, karena hujan lebat sekali. Tapi dia tidak kunjung membalas lagi, yang menandakan bahwa dia benar-benar sudah jalan. Akhirnya, dengan jas hujan polkadotku, aku memacu motorku dengan kecepatan maksimal 50 km/jam untuk menghindari hal-hal yang sangat mungkin dapat terjadi pada kondisi cuaca seperti itu. Aku masih baik-baik saja selama perjalanan, pikiranku lebih banyak aku gunakan untuk fokus pada jalan daripada memikirkan hal lain. Sayangnya, aku lupa bahwa dulu aku juga pernah berjanji untuk bertemu di The Park untuk menonton film dengan seseorang--yang merupakan salah satu hal yang ingin aku lupakan tadi. Kondisinya juga sama seperti itu, hujan, aku mengenakan jas hujan dan memacu motorku tidak terlalu cepat. Pikiran dan emosiku mulai berantakan saat aku memasuki parkiran motor.
Aku menemukan tempat kosong dan segera memarkir motorku di sana. Aku lepas helm dan jas hujanku lalu kuletakkan di atas badan motorku. Aku membuka jok dan mengambil tasku di sana, persis saat waktu itu aku juga mengamankan tasku di bawah jok. Aku mulai memasuki mall sambil menata kembali emosi dan pikiranku.
Segera aku mengambil ponsel dalam tasku, menyalakan internet, dan menghubungi temanku tadi. Belum sempat aku menyampaikan padanya bahwa aku sudah sampai, chatnya yang baru masuk terlebih dulu memberi tahuku bahwa dia tidak jadi ke The Park karena hujan terlalu lebat dan seluruh badannya basah kuyup, jadi dia memutuskan untuk pulang.
Aku agak kesal, tapi hanya bisa membalas pesan yang dia kirim dengan makian-makian ringan. Aku kurang terbiasa berada di tempat ramai sendirian, tapi agak malas juga untuk langsung pulang karena di luar hujan masih deras sekali. Sehingga akhirnya aku memutuskan untuk tetap membeli tiket film.
Bau bioskop hampir sama antara satu dengan yang lainnya, itu yang selalu aku pikirkan setiap kali aku memasuki area bioskop. Film yang mau kutonton masih satu jam lagi, sehingga aku menghabiskan waktu dengan mengelilingi mall, sendirian, dan ternyata tidak terlalu buruk.
Saat jam tayangnya sudah dekat, aku kembali ke are bioskop dan menunggu pintu dibuka. Tempat kosong yang tersisa hanya di sofa panjang yang menghadap ke pintu keluar bioskop, aku segera duduk di sana, dan seketika pikiranku berantakan lagi. Dulu aku dan orang-yang-ingin-aku-lupakan bertemu di sekitar area bioskop, kemudian membeli tiket, dan menunggu bersama di sini, ya tepat di sofa ini, yang sekarang aku duduki. Aku ingat sofanya tidak berubah, posisinya tidak berubah, bahkan meja lingkaran kecil di depannya juga sama. Dulu aku meletakkan ponselku di meja itu sesaat setelah aku berfoto dengannya. Huh. Banyak orang di kanan kiriku, aku masih bisa mengendalikan diri.
Aku terus menahan pikiranku supaya tidak menjadi-jadi selama aku berjalan memasuki ruang bioskop. Film dimulai, dan aku langsung fokus pada ceritanya, sambil sesekali membenarkan komentar-komentar teman-temanku yang telah menontonnya bahwa filmnya memang bagus sekali.
Sayangnya, banyak adegan yang menurutku manis di film ini, yang, aku tidak tahu kenapa, membuatku berpikir bahwa film ini akan jauh lebih bagus jika aku menonton bersama 'dia', seperti waktu itu. Rasanya pasti sangat menyenangkan jika dia duduk di sebelahku sambil bersama-sama menonton film ini. Di adegan yang semakin bagus, pikiranku juga semakin berharap bahwa dia ada di sampingku. Tapi sesaat setelah film selesai, pikiranku melawan dirinya sendiri. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin di sini, bersamaku, tidak mungkin lagi. Lalu pikiranku memaksaku untuk menyalahkan diriku sendiri yang telah memikirkan 'dia'. Salah satu sisi pikiranku menyalahkan sisi pikiranku yang lain karena masih berharap bahwa dia juga mungkin sedang mikirkan aku. Sisi pikiranku yang satu jelas-jelas menyanggah. Tidak mungkin! Aku melihat sendiri perubahan di media sosialnya, dia benar-benar menikmati hidupnya bersama 'orang baru itu', dia sudah bahagia dengan melupakanku secara terang-terangan, tidak ada lagi waktunya yang ia gunakan untuk memikirkanku, begitu pikiranku berbicara tegas pada diriku sendiri. Sisi pikiranku yang lain dengan mudah mengiyakan, lalu emosiku ikut campur, aku kembali sedih. Jadi begini ya rasanya terus menerus memikirkan seseorang padahal kamu sama sekali tidak terlintas di benaknya. Jadi begini rasanya.
Aku sudah tidak berusaha menata pikiran dan emosiku lagi, keduanya sudah berantakan, biarkan saja. Hujan sudah reda. Aku menghabiskan waktuku di atas motor dengan membiarkan air mataku mengalir bebas. Menangislah yang puas, lepaskan saja, begitu kataku pada aku sendiri, dibarengi dengan isakanku yang terdengar jelas sekali.
Sisa minggu ini kemudian aku gunakan untuk benar-benar mencari kesibukan, karena aku sudah menata kembali pikiran dan emosiku, tetapi mereka masih rawan untuk berantakan lagi, sehingga aku benar-benar berhati-hati dan berusaha untuk tidak menyinggung apa pun mengenai 'dia' dan apapun yang berkaitan dengan 'dia' itu. Aku tidak tahu apakah aku berhasil atau tidak. Rasanya masih sama, kesal, sesak dan sedih. Tapi, tidak ada gunanya kan terus menerus memikirkan bahkan mencemaskan orang yang melupakanmu sebegitu mudahnya dan dengan cepat menghapusmu dari pikirannya?
***
you deserve better
BalasHapus